Mengulik Sejarah Dibalik "Masjid Laweyan"
NOVIA ROSIYANI/ 1C/ Perbankan Syariah/ 175231099
Saya
menarasikan tentang Masjid Laweyan sesuai dengan informasi dan data yang saya
dapatkan. Kemudian saya kembangkan semenarik mungkin agar menjadi suatu
inspirasi. Sebelumnya saya sama sekali belum mengetahui tentang Masjid Laweyan
ini, tempat dan posisinya dimana, seperti apa masjid tersebut. Saya mengetahui
masjid ini dari teman karena dia menganggap Masjid Laweyan itu masjid
bersejarah. Dengan rasa penasaran, saya mendatangi masjid tersebut untuk
membuktikan benar atau tidaknya. Ternyata benar pertama kali melihat masjid
tersebut mungkin sudah mengira kalau Masjid Laweyan itu bersejarah.
Bangunanannya yang kuno dan tempatnya yang seperti angker ataupun asing
dirasakan menjadikan saya ingin lebih mengerti tentang Masjid Laweyan.
Dengan demikian, saya memilih Masjid
Laweyan sebagai salah satu objek wawancara dan observasi. Bapak Achmad Sulaiman
sebagai narasumbernya, karena beliau selaku Ta’mir Masjid Laweyan dan saya rasa
beliau akan dapat menyampaikan informasi sesuai dengan keterkaitan Masjid
Laweyan tersebut. Kemudian saya melaksanakan hal tersebut, lalu saya
mendapatkan banyak infornasi, seperti: sejarah, pendiri, peninggalan
peninggalan, dan sedikit keunikan yang ada di Masjid Laweyan. Masjid ini
berbeda dengan masjid umumnya yang pernah saya ketahui. Jadi, saya bisa memahami bahwa suatu masjid itu pasti ada
sesuatu didalamnya yang dapat dikupas lebih mendalam. Selain itu, melalui
kegiatan observasi saya dapat terjun langsung mengamati apa saja yang menjadi
topik masjid tersebut. Maka terbentuklah narasi ini hingga dapat menjadi cerita
sesuai dengan informasi yang ada.
Munculnya Masjid Laweyan
Masjid Laweyan terletak di Jalan
Liris No.1 Kelurahan Pajang, Kecamatan Laweyan, Surakarta. Didirikan ditengah tengah
kota, terdapat pula sungai disepanjang jalan dekat masjid ini. Sekitar
kuranglebih 1 kilometer dari jalan raya untuk menuju masjid ini. Sudah terlihat
mata, ketika jembatan dekat Masjid Laweyan terlewati. Jika kurang paham dimana
tempatnya, dapat bertanya masyarakat sekitar. Karena Masjid Laweyan merupakan
satu satunya masjid di Desa Pajang yang paling terkenal. Masjid ini juga
menjadi tempat yang memiliki sejarah panjang.
Masjid Laweyan merupakan salah satu
awal adanya Kerajaan Mataram di Surakarta. Didirikan oleh Ki Ageng Henis
kemudian dilanjutkan oleh keturunannya. Pada abad ke 16 Masehilah masjid ini
didirikan. Masjid berarti tempat ibadah, sedangkan Laweyan sendiri karena
keberadaannya di Desa Laweyan. Jadi, Masjid Laweyan dapat diartikan tempat
ibadah yang awalnya didirikan untuk menyebarkan agama Islam dan sekarang
dilanjutkan sebagai tempat ibadah untuk warga Laweyan serta masyarakat umum.
Masjid ini juga termasuk masjid tertua di Surakarta. Merupakan tempat
bersejarah karena ada sejak Kerajaan Mataram hingga saat ini dapat dijadikan
tempat religius. Selain itu, pernah menjadi tempat penelitian, misalnya UNIBA
yang pernah melakukan penelitian masjid tersebut.
Awalnya tempat ini pura jaman Hindu
Budha. Tempat dimana Ki Ageng Beluk memimpinnya. Beliau dianggap lurah sakti
saat itu. Ki Ageng Henis, pendiri Masjid Laweyan juga memiliki hubungan dengan
Ki Ageng Beluk. Karena mereka memiliki hubungan erat, Ki Ageng Beluk mewakafkan
pura ini kepada Ki Ageng Henis untuk dijadikan mushola. Sejak Ki Ageng Henis menyebarkan
Islam di tempat itu, sejak itu pula Ki Ageng Beluk memeluk Agama Islam.
Menurut legendanya Ki Ageng Henis
mempunyai putra bernama Ki Ageng Pemanahan. Kemudian Ki Ageng Pemanahan
dinikahkan dengan putri raja hingga mempunyai putra, yaitu Danyang Sutawijaya.
Danyang Sutawijaya menjadi seorang putra dan dijadikan cikal bakal Kerajaan
Mataram. Suatu hari Danyang Sutawijaya mendapatkan hadiah yang disebut Alas
Mentaw dari Sultan Hadiwijaya dari Kerajan Pajang. Munculnya Kerajaan Mataram
bermula dengan adanya Alas mentaw ini yang
sekarang terkenal dengan sebutan Kota Gede di Yogjakarta. Karena berkembang
pesat Kerajaan Mataram menyebarkan agama Islam di Jawa salah satunya di Solo.
Dan di Laweyan lah salah satu tempat yang dituju.
Dari sebuah pura dijadikan mushola
kemudian diubah menjadi masjid, tempat ini banyak mengalami pembugaran, namun
tak banyak yang dirubah. Pembugaran tejadi pada masa Paku Buwono Ke X. Maka
dapat dimengerti, jika kepengurusan Masjid ini kepengurusan keraton. Jadi
kepengurusan keraton itu ada pakemnya tertentu, ada larangan ataupun
pelaksanaan tersendiri. Tapi sekarang kepengurusan tesebut di serahkan kepada
masyarakat sekitar, misalnya dengan tersusunnya organisasi yang dapat dilihat
seperti saat ini. Organisasi masjid sekarang menjadi hal terpenting untuk
mewujudkan jika masjid ini memiliki budaya sendiri yang harus dilestarikan.
Tak disangka, Masjid Laweyan
ternyata mendapatkan penghargaan yang luar biasa. Presiden Soekarno meresmikan
Masjid ini kemudian menjadikannya sebagai Masjidil
Negara. Mulai saat itu, kepengurusan serta hal yang berkaitan dengan masjid
tersebut dipimpin oleh Kepala Kepkemnag setempat. Selain Masjid Laweyan, ada
beberapa tempat yang diresmikam Presiden RI dalam waktu yang bersamaan, yaitu
Masjid Agung Surakarta dan Masjid Kepatihan. Dengan demikian, dapat menjadikan
inspirasi tertentu dalam suatu masjid.
Anti Mainstreamnya Masjid Laweyan
Masjid Laweyan dikatakan masjid
tertua di Jawa. Bangunan yang seperti pura masih terlihat meskipun mengalami
pembugaran beberapa kali. Banyak orang yang melakukan ibadah di Masjid Laweyan.
Tidak hanya shalat fardhu, tapi shalat malam pun ada yang melakukannya dimasjid
tersebut. Karena mereka yakin akan doanya terkabul ketika bermalam di Masjid
Laweyan. Maka tidak heran kalau orangorang silir berganti keluar masuk ke
masjid tersebut.
Hal
lain dirasakan orangorang pintar, maksudnya orang yang memiliki daya tarik
tertentu terhadap suatu hal. Misalnya mereka memiliki aura tersendiri saat
berada didalam Masjid Laweyan. Anehnya, mereka bisa tahu hal hal yang tidak
dapat diketahui orang lain tapi mereka
masih saja nekat demi kenyamanannya sendiri. Memang benar, menginjakkan
kaki pertama kali di Masjid Laweyan terasa beda, takut seakan akan seram dan
mainstream. Mungkin karena gaya masjidnya atau apanya itu, tergantung
orangorang yang berada dimasjid tersebut.
Tidak hanya hal religius yang dapat
diceritakan, kegiatan menyerupai spiritual juga banyak yang menyukainya. Mereka
suka melakukan meditasi didalam Masjid Laweyan. Jadi pada hari hari tertentu
atau saat mereka merasakan butuh akan hal tersebut, mereka langsung berdiam
diri selama satu hari satu malam di masjid ini. Entah apa yang mereka lakukan,
yang jelas hal kenyamanan mereka dapatkan setelah melakukan meditasi. “Pokoknya
ada sesuatu lain dari masjid ini,” ujar mereka yang berpengalaman. Berarti
dapat dipahami, jika masjid ini ada rasanya sendiri berbeda dengan masjidmasjid
lainnya.
Karena tempat ini bekas petilasan Ki
Ageng Henis, bukan hanya masjid saja bangunan disini tapi ada juga makam Ki
Ageng Henis beserta kerabat kerabatnya. Orang luar, banyak yang berkunjung di
Masjid Laweyan karena mereka penasaran. Namun disisi lain, warga sekitar ke
tempat itu untuk ziarah ke makam Ki Ageng Henis. Itu menunjukkan bahwa banyak
kenangan Ki Ageng Henis beserta keluarganya semasa hidupnya. Saat ini sudah
tidak ada pemujaan, hanya saja orang jaman dahulu yang kejawennya masih
dipercayai saat hari tertentu masih melakukan sesajenan.
Bedug, Kentongan, dan lainnya
Masjid Laweyan berdiri sudah beratusratus
tahun lamanya. Menariknya dari masjid ini masih ada bedug, kentongan, dan kotak
infaq kuno yang masih bisa disaksikan diserambi masjid sampai saat ini. Bedug
berwarna coklat dengan sisi berwarna hitam ini masih terlihat layak digunakan.
Begitu juga dengan kentongan yang berwarna coklat juga masih terpap
an
nyata yang disandingkan dengan bedug. Bedug dan kentongan diletakkan dibagian
kiri serambi masjid dengan keadaan digantung. Dulu mungkin bedug dan kentongan
memiliki makna dan kisah sendiri, tapi sekarang tidak dapat diungkit kembali
karena akan memiliki nilai yang berbeda.
Ada aturannya ketika mau menggunakan
bedug dan kentongan, namun termasuk tidak baku karena aturan yang dibuat
sendiri maka sekarang sudah tidak berlakunya aturan tersebut. Misalnya sebelum
dan sesudah adzan itu ada caranya yaitu berapa kali bedugan maupun berapa kali
ketukan untuk kentongan. Waktu belum ada listrik alat tersebut selalu digunakan
untuk menyeru masyarakat agar melakukan shalat jama’ah. Tapi berjalannya waktu,
bedug dan kentongan jarang digunakan karena sudah ada listrik kemudian diganti
dengan microphone. Namun jika mati listrik, bedug dan kentongan baru
dimanfaatkan kembali.
Terdapat juga kotak infaq yang
terbuat dari kayu jati asli dengan warna coklat. Tidak seperti masjid lainnya,
yang biasanya kotak infaq diputar ketika ba’da shalat jumat misalnya atau
diletakkan ditempat tertentu tapi kotak infaq ini diletakkan diserambi masjid
bagian depan dekat lorong pintu utama dengan keadaan dirantai dan digembok. Hal
itu agar tidak terjadi pencurian mengingat memang daerah ini banyak kasus
seperti itu dan berpengalaman pernah terjadi kasus pencurian. Jadi, misalnya
setelah shalat jumat infaq tersebut langsung dihitung dan diamankan. Uniknya
lagi terdapat tulisan aksara jawa diatas kotak infaq tersebut yang memiliki
arti sendiri pada zaman dahulu.
Ejaan lama yang selalu tepajang
diatas pintu yaitu “Lan nglakonono ing salat karono eling marang ing
soen(Allah).” Hal tersebut bertujuan agar para jamaah selalu mengingat shalat
dan selalu ingat Allat SWT dalam keadaan apapun. Selain itu, masih ada
peninggalan sejak abad 16M, yaitu lampu hias dan tempat khutbah berbentuk
seperti kereta kencana. Lampu hias tersebut masih dipasang didalam masjid
bagian tengah sejak dulu sebagai penerang kegelapan. Menurut penelitian lampu
hias tersebut asli jadi ragu kalau mau diganti. Walaupun masih ada lampu lampu
pendukung lainnya, namun lampu hias tersebut dinilai sebagai peninggalan yang
termewah.
Sedangkan tempat khutbah seperti
kereta kencana juga masih digunakan
sampai sekarang. Dibuat dari kayu jati serta diukir dengan ukiran yang
indah dengan perpaduan warna emas dan
hijau menjadikan tempat khutbah tersebut kelihatan menarik. Ketika khutbah
selain mendengarkan materi, agar tidak bosan kita juga dapat melihat sarana
tempat khutbah tersebut. Memang dirilis sedemikian rupa agar memiliki sejarah
ditahun tahun kedepannya. Dengan adanya banyak peninggalan, menjadi hal
tersendiri ketika berada di Masjid Laweyan ini. Jadi untuk pengurus dan
masyarakat sekitar tinggal menjaga dan
melestarikannya sebagai bentuk rasa kita menghargai peninggalan terdahulu.
Kokohnya bangunan serta
fasilitasnya
Masjid Laweyan memang berbeda dengan
masjid masjid lainnya. Sejak jaman dahulu bangunannya masih terlihat kuat dan
tahan rapuh. Walaupun tak berbeda jauh
dengan bangunan sebelumnya, masjid ini sudah mengalami beberapa pembugaran.
Masjid Laweyan memiliki gaya yang berbeda dengan masjid umumnya, bentuknya
unik, seperti bangunan pura jaman Hindu Budha. Posisinya diatas ditengah tengah
undakan atau tangga dengan lorong pintu depan menjorok ke dalam. Orang yang
sama sekali belum mengetahui tempat/masjid ini pasti menyebutnya dengan
pendhapa karena bangunannya sendiri sederhana dan kuno. Walaupun benar Masjid
ini wakafan jaman Hindu Budha yang terorganisir dari pura menjadi mushola
hingga sekarang menjadi masjid.
Masjid Laweyan beralaskan keramik
berwarna putih dan diselingi dengan warna hijau tua. Dinding masjid masih mampu
berdiri hingga sekarang karena terbuat dari bahan bahan yang kuat kemudian dicat
dengan perpaduan warna hijau biru muda. Mungkin dulu memang sengaja dibangun
model kuno agar bisa dijadikan momentum tersendiri. Tak disangka juga, ternyata
atap diserambi Masjid Laweyan terbuat dari tembaga warna putih. Bahan tersebut
tidak main main, bahkan dari dulu atap tersebut sama sekali belum terjadi
penggantian. Ta’mir masjid pun juga takut, jika sewaktu waktu atapnya jebol
bagaimana dan mencari gantinya dimana.
Memang terlihat kalau atapnya
terbuat dari bahan yang elegan dan sulit dicari, tekstur atapnya pun juga indah
dengan warna putih yang terang. Berdirinya bangunan tidak lepas dari pengokoh
yang kuat seperti halnya masjid ini. Sebagai pengokohnya, terdapat dua belas
tiang penyangga. Tiang tersebut terbuat dari kayu jati asli jika dilihat
sepertinya belum mengalami kekereposan dengan cat berwarna hijau. Memang jika
diamati Masjid Laweyan itu sangat identik dengan warna hijau. Jika dipelajari
lebih mendalam dua belas tiang tersebut memiliki makna tersendiri. Orang orang
jaman dahulu memang kalau melakukan suatu hal harus mempunyai arti agar
bermakna.
Masjid selalu dihubungkan dengan
berwudhu. Terdapat istilah padasan, yang berarti padasan merupakan tempat
dimana orangorang mengambil air suci dimana digunakan untuk berwudhu. Sebelum
mengalami pembugaran, terdapat dua kolah besar di Masjid Laweyan. Setiap jamaah
putra atau putri harus antri terlebih dahulu untuk melakukan wudhu. Dua kolah
besar itu hanya difasilitasi dengan selang seperti yang sekarang masih
dilakukan di Masjid Agung Surakarta. Berkembangnya jaman, sekarang kolah besar/
padasan tersebut diubah menjadi tempat wudhu yang modern seperti halnya masjid
masjid saat ini. Tempat wudhu tersebut dibagi menjadi dua, satu untuk putra disisi
kiri masjid dan satu tersedia untuk putri berada di samping depan masjid.
Masjid Laweyan tergolong masjid
berkembang dan selalu dirawat hingga masyarakat sekitar selalu peduli.
Maksudnya, dengan dukungan masyarakat masjid tersebut mampu menyediakan
peralatan yang mewadahi walaupun masjid ini bukan termasuk masjid raya ataupun
masjid besar. Terdapat tujuh karpet untuk putra, dan dua karpet untuk putri
yang digunakan untuk alas sujud para jamaah. Tersedia juga beberapa mukena
untuk jamaah putri yang ingin melakukan shalat dimasjid ini. Jadi tidak usah
khawatir bagi perempuan yang mampir dan
tidak membawa mukena ketika sedang perjalanan disekitar situ bisa mampir di
Masjid Laweyan ini. Walaupun ketika belum waktunya pintu utama digembok, orang
orang dapat melakukan shalat diserambi masjid karena sudah tersedia tempat dan
peralatannya.
Banyak masyarakat yang melakukan
shalat jamaah. Jadi ada perbedaan antara jamaah putra dan putri. Seperti di
Masjid Laweyan ini, untuk jamaah putri terdapat istilah keputren yang memiliki
arti dibatesi. Jadi jamaah putri dahulu
ada larangannya untuk tidak melihat seorang putra karena dianggap bukan
muhrimnya. Sangat dominan seorang putri dan derajatnya selalu tinggi, Dulu di
Masjid Laweyan ada pintunya diperbatasan putri, karena mengingat jamaahnya
bertambah pintunya dibongkar terbelah menjadi dua pilah. Ketika didalam masjid
setiap jamaah tidak hanya melakukan ibadah saja, namun juga harus menjaga dan
memiliki etika sendiri sendiri.
Cagar Budaya dan Kegiatan di Masjid
Laweyan
Masjid Laweyan dan Makam Ki Ageng
Henis menjadi viral karena sejarahnya. Dalam tingkat nasional, banyak tempat
yang dijadikan cagar budaya. Salah satu cagar budaya di Surakarta adalah Makam
Ki Ageng Henis. Pada November 2012, tempat ini ditetapkan sebagai Cagar Budaya
melalui Keputusan Walikotamadya Kepala Daerah Tingkat II Surakarta
Nomor:646/116/1/1997. Selain itu, Cagar Budaya ini juga dilindungi oleh Undang
Undang RI No.11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya. Jadi dulu pernah ada rencana
untuk renovasi, karena ditetapkan sebagai cagar budaya rencana tersebut
dibatalkan untuk menjaga keaslian bangunan tersebut.
Untuk mengembangkan Masjid Laweyan,
pengurus masjid mengadakan agenda bulanan dan mingguan. Contohnya pengajian
rutin, ada pengajian seminggu sekali dan ada juga sebulan sekali. Jadi nanti
setiap mau ada kegiatan tersebut ada pengumumannya agar masyarakat berbondong
bondong mengikuti kajian rutin dan selalu ikut berpartisipasi mengembangkan
masjid tersebut. Remaja masjid juga memiliki kegiatan yaitu TPQ, kegiatan ini
mendapatkan dukungan penuh dari semua masyarakat yang bersangkutan. Hal ini
dengan tujuan untuk mengembangkan generasi muslim supaya kelak nanti tidak ketinggalan jaman.
Kegiatan TPQ dilakukan 3 kali dalam seminggu. Muridnya sekitar kurang lebih 100
anak. Kegiatan kegiatan tersebut menjadikan pendorong agar Masjid Laweyan memiliki
nilai tersendiri disamping dengan sejarahnya yang panjang.
RELEKSI:
Menurut saya, Masjid Laweyan itu
bersejarah, unik, dan ada nilainya. Maksudnya, sebelum saya melakukan wawancara
saya tidak berpikiran, “Apa sih masjid itu?”. Sebelumnya itu mengetahui masjid
ya hanya sekedar tahu itu masjid, tempat untuk ibadah saja. Tapi setelah
melakukan kegiatan wawancara dan observasi saya lebih paham jika sebuah masjid
ada sejarahnya, misalnya Masjid Laweyan ini. Masjid yang memiliki rahasia
tersendiri didalamnya yang kadang sama sekali belum diketahui banyak orang.
Selain itu saya dapat mengetahui kapan didirikan, siapa pendirinya, bagaimana
asal mula dari Masjid Laweyan dan lain sebagainya.
Masjid itu memiliki arsitekstur
berbeda beda, salah satunya Masjid Laweyan. Masjid ini memiliki bentuk seperti
pura tapi yang sudah terorganisir menjadi masjid yang terkenal, menjadikan
salah satu keunikan tersendiri. Peninggalannya pun hingga kini masih
dilestarikan. Yang menjadi nilai yaitu keaslian dari bangunan Masjid Laweyan
dan juga ada makam pendirinya Ki Ageng Henis ini yang ditetapkan sebagai salah
satu Cagar Budaya di Surakarta. Setelah ada kegiatan wawancara dan observasi
tersebut, saya dapat mengetahui sebuah arti Masjid Laweyan secara detail. Hanya
saja ada satu kelemahan dari kegiatan saya tersebut, yaitu Bapak narasumber
belum mampu menjelaskan tentang makna ataupun arti dari setiap peninggalan yang
ada di Masjid Laweyan karena beliau belum mempelajarinya.
Lampiran:
Hasil Plagramme.com
Komentar
Posting Komentar